Kehidupan dan Kematian

Kehidupan dan Kematian


Saat melihat kunci kamar hotel tempat aku menginap, sebuah pertanyaan muncul di benakku: “Berapa banyak orang yang telah menempati kamar ini sebelum aku? Dan berapa banyak yang akan datang setelahku?” Aku pun menyadari bahwa kamar ini bukanlah milikku selamanya—ia hanyalah tempat singgah sementara. Bahkan, seluruh hotel ini tampak seperti dunia yang seakanakan menjadi milik kita, padahal sebenarnya tidak.

Begitu banyak orang telah berlalu di tempat ini, datang dan pergi silih berganti. Sebagian dari mereka menertawakan yang lain, sebagaimana para pelancong yang sering kali tertawa melihat diri mereka sendiri di ruang tunggu hotel. Setiap orang sibuk dengan urusannya masingmasing. Namun, jika kita memperhatikan wajah mereka, yang tampak hanyalah ekspresi kosong dan senyuman yang tidak sepenuhnya nyata.

Beginilah kehidupan manusia mereka bertemu, berbincang, lalu pergi tanpa jejak yang abadi. Aku teringat firman Allah yang menggambarkan kefanaan dunia:

“Pada hari ketika mereka melihatnya (hari kiamat), mereka merasa seakanakan tidak tinggal (di dunia) melainkan hanya sesaat dari siang hari.” (QS. AnNazi’at: 46)

Tibatiba aku tersadar, dunia ini tak lebih dari fatamorgana yang tampak lebih berarti dari kenyataan sesungguhnya. Lalu aku bertanya pada diriku sendiri, apakah dunia ini benarbenar nyata? Sejenak aku ragu, lalu menjawab dalam hati: “Dunia bukanlah tempat tinggal abadi. Setiap hari orang datang dan pergi, namun sering kali kita melupakan kenyataan ini.” Bukan berarti aku meremehkan dunia atau menafikan keberadaannya. Dunia memang harus dinikmati, tetapi dengan kesadaran bahwa kita tidak boleh kehilangan harga diri di dalamnya atau terbuai hingga lupa bahwa semua ini hanya sementara.

Jika seseorang tenggelam dalam gemerlap dunia tanpa batas, dunia itu sendiri yang akan menghancurkannya. Namun, mereka yang menyadari kefanaan dunia akan menjadikannya sebagai ladang amal untuk kehidupan yang lebih baik di akhirat. Sebaliknya, ada banyak orang yang tertipu oleh kilauan dunia. Mereka menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengejar ambisi yang tak berujung, tanpa menyadari bahwa mereka sedang melangkah menuju kehancuran.

Di tengah hirukpikuk kehidupan, banyak jiwa yang tersesat…Ada hubungan keluarga yang terputus, kehormatan yang dinodai, kebebasan yang disiasiakan, serta persahabatan yang hancur begitu saja. Mereka terjebak dalam pusaran kehidupan yang membingungkan, tenggelam dalam kepalsuan, dan larut dalam kesedihan yang tiada akhir. Betapa rapuhnya dunia saat tabirnya tersingkap! Dan betapa malangnya mereka yang tertipu oleh gemerlapnya hingga mengagungkannya!

Allah menggambarkan dunia dengan perumpamaan yang begitu indah:

“Dan berikanlah kepada mereka perumpamaan kehidupan dunia seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu menyatu dengan tumbuhan di bumi, kemudian menjadi kering dan diterbangkan oleh angin. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. AlKahfi: 45)

Namun, dunia ini juga memiliki sisi lain yang tidak boleh diabaikan. Di dalamnya, kita diberi tugas, tanggung jawab, dan perjalanan yang harus ditempuh. Dunia bukan hanya tentang lahir dan mati. Kita tidak diciptakan tanpa tujuan, dan tidak akan dibiarkan hidup tanpa arah! Kita sedang menghadapi amanah besar dan ujian yang berat. Segala sesuatu di dunia ini harus ditempatkan dengan keseimbangan. Setiap detik yang kita miliki adalah titipan. Kita tidak diciptakan untuk lenyap, tetapi untuk bertemu dengan Sang Pencipta.

Hari ini kita menanam, dan kelak kita akan menuai hasilnya. Kemuliaan dan kehinaan di akhirat bukanlah ditentukan oleh seberapa banyak harta dan kekuasaan yang kita raih di dunia, tetapi oleh kualitas amal kita. Sebagaimana Allah berfirman:

“Siapakah di antara kalian yang paling baik amalnya.” (QS. AlMulk: 2)

Jika dunia ini hanyalah setetes embun, mengapa kita begitu sibuk mengejarnya? Mengapa perhatian kita hanya tertuju pada kesenangan sesaat?

Dunia yang tidak dipahami hakikatnya akan melahirkan keserakahan. Orang yang hidup hanya untuk memenuhi hawa nafsunya akan dikendalikan oleh nafsu itu sendiri. Ia akan diperbudak oleh cinta dunia, hingga akhirnya kehilangan segalanya demi mengejar harta dan kedudukan.

Abu Thayyib Al-Mutanabbi, penyair besar, pernah mengagungkan kekuasaan dan kejayaan dunia. Namun, pada akhirnya, ia meninggalkan dunia ini seperti debu yang diterbangkan angin. Sebagaimana seorang penyair berkata:

“Setiap orang yang takut kepada Allah dan merendahkan diri di hadapanNya, akan menyadari betapa hina segala kemegahan dunia.”

Betapa banyak manusia yang tertipu oleh kejayaan semu! Mereka lupa bahwa kemuliaan sejati adalah anugerah dari Allah, sebagaimana perkataan Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari:

“Jika Allah membukakan pintu pemberianNya kepadamu, jangan melihatnya sebagai keutamaanmu, tetapi sebagai karuniaNya kepadamu.”

Demikianlah seorang mukmin memahami nikmat Allah. Ia akan kembali kepadaNya dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati. Namun, sebagian besar manusia sibuk mengejar rezeki dan kesenangan dunia, tanpa menyadari bahwa semua itu berasal dari Allah. Mereka lupa akan firmanNya:

“Dan nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu berasal dari Allah. Kemudian apabila kalian ditimpa kesusahan, kepadaNyalah kalian meminta pertolongan.” (QS. AnNahl: 53)

Tapi saat kesulitan telah berlalu, mereka kembali melupakanNya!

Makna sejati kehidupan dalam Islam adalah bahwa dunia bukanlah tujuan utama kita. Allah tidak menciptakan manusia hanya untuk hidup, makan, dan mencari kesenangan. Kita memang diberi hak untuk menikmati dunia, tetapi dengan batasan yang telah ditetapkan. Sayangnya, kebanyakan manusia memperlakukan dunia seperti hewan yang hanya mencari makanannya. Mereka lupa bahwa ada tujuan yang lebih tinggi dari sekadar memenuhi kebutuhan fisik. Allah telah menghiasi dunia ini dengan keindahanNya. Namun, orangorang yang tenggelam dalam kesenangan dunia sering kali mengukur kebahagiaan hanya dengan harta dan materi. Mereka menolak kehidupan yang penuh keberkahan dan ridha Allah. Padahal, rezeki bukan hanya berupa harta. Rezeki yang sejati adalah anugerah Allah yang diberikan kepada mereka yang dikehendaki-Nya. Manusia harus sadar bahwa mereka hanyalah pengelola dunia, bukan pemiliknya.

Maka, mengapa kita masih bertikai dalam urusan dunia? Pada akhirnya, dunia ini fana. Dan kebahagiaan sejati hanyalah bagi mereka yang kembali kepada Allah dengan hati yang bersih dan amal yang diterima.